Resign Prep

Kira-kira di tanggal-tanggal sekarang tahun lalu, saya sedang sibuk-sibuknya mengurus my resignation. Berhenti bekerja untuk beberapa saat yang saya tak bisa tentukan. Sebuah keputusan besar yang saya ambil setelah bekerja sekian tahun di saat pekerjaan saya saat itu cukup baik dan gaji yang lebih dari cukup.Pikiran saya hari ini kembali melayang ke masa-masa itu, ketika seorang kawan baik saya baru saja menanyakan: “Apa yang harus saya siapkan untuk resign?”

 

Saya tercekat. Sebenernya mungkin di pikiran saya, ‘why do you do this? Have you think twice?’. But, well, who am I to judge? Saya bahkan melakukannya sebelum dia. Apapun alasannya mungkin dia sudah pikirkan masak-masak. Saya pun mendukung keputusannya 100%.

 

Ini mungkin pertanyaan yang kesekian kali saya terima dari orang yang berbeda. Mereka pikir saya anti mainstream, berani keluar dari zona nyaman, makanya cukup banyak yang bertanya.  Padahal mungkin hanya nekad atau sedikit pilhan. I know, setiap orang punya alasan masing-masing yang ia percayai.

 

Berulang kali saya mencoba menjelaskan tahapannya ke beberapa orang. Secara administrasi mungkin mudah hal itu dilakukan, bikin surat pengunduran diri, sampaikan kepada pihak yang tepat, dan selesai. Tapi ternyata bukan hanya itu. Sebagai teman, di luar permasalahan administrasi, let me tell you a secret: it’s never been so easy.  Rasanya mungkin saya perlu menuangkan ini, siapa tau ada yang perlu.

 

Pertama, pastikan keputusan itu tidak diambil karena masalah emosional. Kecuali yah memang sifatnya force majure. Saya memikirkan hal ini setahun sebelum surat pengunduran diri saya draft. Analis macam saya bahkan bikin SWOT analysis sederhana. Analysis resiko dan mitigasi plan. Apa plus minusnya, apa kesempatan dan masalah yang mungkin saya hadapi. Ketika keputusan itu bulat, saya sudah berada di posisi tidak bisa ditawar. Bahkan ketika atasan saya menawarkan hal yang menurut saya cukup menarik. saya bisa menolaknya sambil tersenyum. Apa jadinya jika kemudian saya iyakan. mungkin hanya sedemikian harga keputusan saya ini.

 

Kedua, diskusikan dengan keluarga. Sampaikan kira-kira apa yang akan terjadi jika keputusan itu diambil. Jika ada masalah gambarkan kira-kira solusinya. Jangan bicarakan tanpa ada solusi yang ditawarkan. Hal yang paling sensitive misalnya, ketika saya berhenti bekerja maka mungkin secara financial hal ini akan mengganggu. Apa yang harus dilakukan, solusi apa yang ditawarkan? Mungkin mengurangi gaya hidup, menggunakan tabungan sekolah anak untuk sementara dan lain-lain. Ini konsekuensi bersama yang tidak pernah mudah. Ketika itu, hal ini cenderung mudah saya lewati bersama pasangan. Kami sadar ini akan cukup berdampak, tapi kami siap dengan resikonya. Hal yang sulit buat saya ketika harus mendiskusikan hal ini dengan ayah saya. Saya tahu dia tidak rela, setelah bersusah payah menyekolahkan saya sekian lama. Cukup lama menyakinkan dia. Walau dengan raut kecewa, akhirnya dia bilang saat itu, “Papa percaya kamu pasti sudah memikirkan masak-masak. Kalau itu merurut kamu penting dan buat kamu happy, so do it”. Well, di kemudian hari hikmahnya adalah ternyata saya bisa menemani dia di saat dia sakit berat saat semua anaknya yang lain sibuk kerja. Itu kebanggaan saya.

 

Ketiga, pikirkan setelah ini apa? Apa bekerja lagi? Apa sekolah lagi? Usaha apa? Nambah anak lagi? Kawin?. Ini bisa jadi juga menjadi langkah ke-0 yang menjadikan alasan dari semua keputusan. Pertimbangkan masak-masak. Saat itu, saya baru punya rencana mau apa. Setelah resign, pelan-pelan saat ini saya coba wujudkan. Dan, ingatlah, ketika menjalaninya sangat sulit. Kalo kamu yang selama ini yang duduk-duduk manis, tidur di waktu rapat dan santai di kantor masih di gaji, waspadalah. Outside, maybe there is no one will pay you for this. Dunia luar sana kejam. Penuh tantangan, Tapi disitulah kenikmatannya.

 

Keempat, kapan saatnya?. Ini perlu dipertimbangkan masak-masak. Hindari resign di saat work load sedang tinggi-tingginya. Atau saat krisis lagi melanda, sebaiknya di-pending dulu. Why? Karena itu akan mempengaruhi hubungan kerja dan your own image. Serius nyebelin kalo ada temen yang resign melimpahkan segala tanggungjawab secara barbarian. Kalau ternyata  masih lama, sebaiknya tidak perlu dibicarakan. Ngapain ngomong-ngomong ajeh tapi ga di jalanin. Resign itu dipraktekin.  Walk the talk. Juga, perhatikan aturan, apakan one month notice harus disampaikan dan lain-lain. Perhatian terhadap waktu ini sangat penting. Selesaikan seluruh pekerjaan, dan manfaatkan waktu yang ada untuk persiapan.

 

Kelima, sampaikan dengan baik. Lihat sikon. Jangan ngomongin ini ketika Pak/Bu Bos abis marah-marah misalnya.  Ketika kita pertama masuk kantor, kita datang dalam keadaan baik dan penuh harapan. Seperti itu pulalah seharusnya kita keluar. Akan selalu ada orang yang menanggapi secara negatif, tapi kalau kita bisa menjaga hubungan baik, Insyaa Allah hal ini bisa hilang dengan sendirinya.

 

Keenam, selesaikan hutang kerjaan, laporan dan syarat-syarat administrasi lainnya. Manfaatkan fasilitas cuti, kesehatan dan lain sebelum berakhir. Rapihkan meja, dan buang sampahmu. Ini seharusnya masa-masa menyenangkan.

 

Terakhir, sampaikan perpisahan, maaf dan terimakasih. Saat itu adalah saat yang terberat buat saya. Sekian lama bercengkrama, ketemu setiap hari, penuh suka duka. Dan itu harus berakhir. Disitulah saya merasa sedih. Hari-hari berikutnya mungkin tak lagi sama. But, I was ready for a new adventure. Tetap jaga hubungan baik walau semenyebalkan itu orangnya. Karena rejeki datangnya dari banyak pintu, diantaranya teman-teman baik.

 

Itu pengalaman saya. Well friend, congrats for your plan, welcome to the club!

Leave a comment